Lab Internet Dasar ini terletak di kampus D Margonda di Gedung 3 lantai 2. Lab ini di bawah lembaga Pengembangan Universitas Gunadarma diperuntukkan untuk mahasiswa baru kelas 1 untuk memperluas ilmu dalam bidang Internet yang sekarang sudah merajalela.
Dan inilah kakak-kakak yang ada di balik layar Lab Internet Dasar :
1. Hendi Ravasia
2. Andito Wasi Guntoro
3. Akhmad Fauzi
4. Jamaris
5. Tito Berlian
6. Achie
7. Nurul Wulandari
8. Fauziyah
9. Mita Oktawiranti
10. Efa
11. Putri
Lab ini dibawah lembaga pengembangan Universitas Gunadarma.
Dan dari kesebelas kakak tersebut, kakak yang membimbing kelas kami yaitu kak Fauzi (Akhmad Fauzi) shift 15.30 sampai 17.30.
Memang pada mulanya saya bingung, karena Lab Internet Dasar ini hanya memeiliki 3 kali pertemuan, bahkan hanya dua kali sebab yang terakhirnya adalah ujian.
Apalagi saya mendapatkan shift terakhir, dan pertama masuk saya memang kurang memerhatikan kakaknya mengajar karena menurut saya sedikit membosankan (maaf ya kak..hehe :p) dan saya pun mengantuk jadi main game deh. Eh ternyata kak Fauzi tau siapa saja yang bermain game, saya beserta teman yang lainnya pun ditegur. Lalu akhirnya saya mulai fokus ke materinya dan ternyata menarik serta tidak membuat saya mengantuk lagi apalagi baru masuk saja sudah diberi test tanpa ada bahan sama sekali untuk diliat. Tetapi syukur saja kak fauzi baik, jadi kami boleh mencari lewat internet di handphone dan boleh kjs juga alias kerjasama..haha.
Tetapi sayangnya ada kekurangan di Lab Internet Dasar ini, boleh ya kak saya member kritik sedikit .
Pertama, ada beberapa komputer yang sudah mati, padahal satu kelas saja sudah dibagi dalam dua shift dan berarti satu shift itu kan ada 20-an mahasiswa. Tetapi karena ada beberapa komputer yang mati, jadi ada sebagian mahasiswa yang tidak kebagian komputernya.
Kedua, banyak sekali coret-coretan yang tidak sedap dipandang di setiap komputer yang ada. Entah itu dari yang menulis berbagai keluhan, penyanyi kesukaan sampai kata-kata yang seharusnya tidak ditulis. Sebaiknya para kakak Lab Internet Dasar lebih tegas lagi untuk memeberitahu para mahasiswa untuk tidak mencorat-coret perangkat komputer Lab internet Dasar dan lebih mengawasi lagi para mahasiswanya supaya kalau ada yang ketahuan langsung ditegur dan suruh untuk membersihkannya atau diberi sanksi yang lain agar mahasiswa yang tangannya tidak bisa diam itu kapok dan tidak mengulangi perbuatan jelek itu.
Ketiga, ini Lab Internet Dasar tetapi internetnya justru tak dapat digunakan karena dari pusatnya rusak internetnya. Maka dari itu yang seharusnya pada saat test kami bisa bertanya kepada om google malah tidak bisa, jadi kami pun mencari jawaban melalui internet di handphone kami masing-masing. Padahal kelas-kelas sebelumnya sebelum kelas kami masih bisa menggunakan internetnya. Sebaiknya kerusakan tersebut sesegara mungkin diperbaiki.
Sepertinya itu saja kak kritik dari saya.
Kalau dari cara kakak mengajar dan cara penyampaian materi kepada kami itu sudah sangat baik semuanya. Hanya mungkin kalau ada mahasiswa yang justru bermain game atau tidak memperhatikan kakak mengajar ya mungkin karena ada rasa bosan atau mengantuk karena mendapat shift terakhir,hehe.
Tapi kakak sudah cukup sabar dalam mengajar kami. Terima kasih ya kak Fauzi. Apalagi dengan ada nilai tambahan seperti nilai plus 5 dan nilai maksimal, membuat kami jadi lebih semangat lagi dalam belajar. Dan membuat kami juga semakin berani untuk langsung maju ke depan memberitahu jawaban dari pertanyaan yang kakak ajukan kepada kami mengenai materi yang ada. Apalagi setelah menjawab mendapatkan nilai plus atau nilai maksimal membuat kami senang dan semakin semangat lagi.
Kak Fauzi pun mengajar tidak terlalu monoton, jadi top markotoplah buat kak Fauzi . Hanya saja kadang suara kakak kecil jadi tidak terlalu kedengaran sampai belakang dan terkadang kakak juga menjelaskan materi tidak di posisi tengah, tapi justru di posisi paling kiri, jadi sebagian dari kami yang duduk paling kanan tak terlalu mendengar dengan jelas apa yang kakak jelaskan.
Mengenai nilai, pertama kali saya melihat ada tulisan DP di hasil test saya ketika selesai peretemuan pertama tetapi saya membiarkannya saja karena saya kira itu adalah tanda tangan kakaknya,haha. Tetapi pada saat pertemuan kedua, kami mendapatkan hasil test kedua dan LA pertama dan melihat ada tulisan seperti itu juga dan ternyata ada beberapa teman saya yang membahas tentang tulisan itu, ternyata itu adalah nilai,hahaha. Jadi, TL adalah Tujuh Lima, DP adalah Delapan Puluh dan DL adalah Delapan Lima.
Dengan adanya Lab Internet Dasar ini saya pun mendapatkan berbagai manfaat, seperti saya jadi lebih tau secara mendalam mengenai materi Internet dan kak Fauzi juga memberi berbagai link-link baru yang sebelumnya saya tidak tahu sama sekali dan link-link tersebut pun sangat berguna bagi saya dan teman-teman lainnya.
Lalu dengan ada test pertama dan kedua juga jadi mengacu otak kami supaya segar kembali, apalagi waktu yang diberikan dalam mengerjakan tidak cukup banyak. Jadi dengan ada test itu membuat kami berlomba untuk menulis jawaban terbaik dalam waktu yang tidak banyak. Dan dengan adanya LA ( Laporan Akhir) juga melatih kami dalam menulis dengan baik dan melatih kami juga dalam meringkas materi yang begitu banyak agar terangkum hanya dalam satu halaman.
Blog Lab Internet Dasar ( Labintdash ) pun sangatlah lengkap, karena di situ terdapat mulai dari nama-nama kakak Lab Internet Dasarnya sampai materi atau modul Lab Internet Dasar yang dapat kami download.
Jadi, dari yang sebelumnya saya menganggap Lab Internet Dasar ini tak ada apa-apanya justru ternyata memberi banyak manfaat bagi saya dan para mahasiswa kelas 1 lain.
Cukup sekian tulisan dari saya, terima kasih.
Rabu, 30 Maret 2011
Minggu, 06 Maret 2011
BLOG ( SISTEM EKONOMI INDONESIA >> RANGKUMAN )
Tanggal 5 Maret 2011 pukul 14.42
SISTEM EKONOMI INDONESIA
LANDASAN SISTEM EKONOMI INDONESIA
Secara normatif landasan idiil sistem ekonomi Indonesia adalah Pancasila dan UUD 1945.
Dengan demikian maka sistem ekonomi Indonesia adalah sistem ekonomi yang berorientasi kepada Ketuhanan Yang Maha Esa (berlakunya etik dan moral agama, bukan materialisme); Kemanusiaan yang adil dan beradab (tidak mengenal pemerasan atau eksploitasi); Persatuan Indonesia (berlakunya kebersamaan, asas kekeluargaan, sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi dalam ekonomi); Kerakyatan (mengutamakan kehidupan ekonomi rakyuat dan hajat hidup orang banyak); serta Keadilan Sosial (persamaan/emansipasi, kemakmuran masyarakat yang utama – bukan kemakmuran orang-seorang).
Dari butir-butir di atas, keadilan menjadi sangat utama di dalam sistem ekonomi Indonesia. Keadilan merupakan titik-tolak, proses dan tujuan sekaligus.
Pasal 33 UUD 1945 adalah pasal utama bertumpunya sistem ekonomi Indonesia yang berdasar Pancasila, dengan kelengkapannya, yaitu Pasal-pasal 18, 23, 27 (ayat 2) dan 34.
Berdasarkan TAP MPRS XXIII/1966, ditetapkanlah butir-butir Demokrasi Ekonomi (kemudian menjadi ketentuan dalam GBHN 1973, 1978, 1983, 1988), yang meliputi penegasan berlakunya Pasal-Pasal 33, 34, 27 (ayat 2), 23 dan butir-butir yang berasal dari Pasal-Pasal UUDS tentang hak milik yuang berfungsi sosial dan kebebasan memilih jenis pekerjaan. Dalam GBHN 1993 butir-butir Demokrasi Ekonomi ditambah dengan unsur Pasal 18 UUD 1945. Dalam GBHN 1998 dan GBHN 1999, butir-butir Demokrasi Ekonomi tidak disebut lagi dan diperkirakan “dikembalikan” ke dalam Pasal-Pasal asli UUD 1945.
Landasan normatif-imperatif ini mengandung tuntunan etik dan moral luhur, yang menempatkan rakyat pada posisi mulianya, rakyat sebagai pemegang kedaulatan, rakyat sebagai ummat yang dimuliakan Tuhan, yang hidup dalam persaudaraan satu sama lain, saling tolong-menolong dan bergotong-royong.
WILOPO –VS- WIDJOJO
Pancasila hampir-hampir tidak terdengar lagi. Seolah-olah orang Indonesia merasa tidak perlu Pancasila lagi sebagai ideologi negara. Tanpa suatu ideologi negara yang solid, suatu bangsa tidak akan memiliki pegangan, akan terombang-ambing tanpa platform nasional yang akan memecah-belah persatuan. Pancasila merupakan “asas bersama” (bukan “asal tunggal”) bagi pluralisme Indonesia, suatu common denominator yang membentuk kebersamaan.
Sistem Eknomi Pancasila pun hampir-hampir hilang dalam pemikiran ekonomi Indonesia. Bahkan demikian pula Pasal 33 UUD 1945 sebagai landasan ideologinya akan dihilangkan. Apa yang sebenarnya terjadi?
Perdebatan mengenai Pasal 33 UUD 1945 (terutama Ayat 1-nya) sudah dimulai sejak awal. Yang paling pertama dan monumental adalah perdebatan pada tanggal 23 September 1955 antara Mr. Wilopo, seorang negarawan, dengan Widjojo Nitisastro, mahasiswa tingkat akhir FEUI.
Di dalam perdebatan itu kita bisa memperoleh kesan adanya bibit-bibit untuk ragu meminggirkan liberalisme sebagai peninggalan kolonial serta menolak koperasi sebagai wadah kekuatan rakyat dalam keekonomian nasional, betapapun hanya tersirat secara implisit, dengan memadukan tujuan untuk mencapai “peningkatan pendapatan perkapita” dan sekaligus “pembagian pendapatan yang merata”, sebagaimana (tersurat) dikemukakan oleh Widjojo Nitisastro.
Di awal penyajiannya dalam debat itu, Widjojo Nitisastro menyatakan adanya ketidaktegasan akan Ayat 1 Pasal 33 UUD 1945, kemudian mempertanyakannya, apakah ketidaktegasan ini disebabkan oleh “kontradiksi inheren” yang dikandungnya (karena masih mengakui adanya perusahaan swasta yang mengemban semangat liberalisme, di samping perusahaan negara dan koperasi), ataukah karena akibat tafsiran yang kurang tepat. Pertanyaan Widjojo Nitisastro semacam itu sebenarnya tidak perlu ada apabila beliau menyadari makna Ayat II Aturan Peralihan UUD 1945 dan mengkajinya secara mendalam.
Di samping itu, menurut pendapat saya, Widjojo Nitisastro alpa memperhatikan judul Bab XIV UUD 1945 di mana Pasal 33 (dan Pasal 34) bernaung di dalamnya, yaitu “Kesejahteraan Sosial”, sehingga beliau terdorong untuk lebih tertarik terhadap masalah bentuk-bentuk badan usaha (koperasi, perusahaan negara dan swasta) daripada terhadap masalah ideologi kerakyatan yang dikandung di dalam makna “Kesejahteraan Sosial” itu. Akibatnya beliau alpa pula bahwa yang paling utama berkaitan dengan kesejahteraan sosial adalah “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak” (ayat 2 Pasal 33 UUD), di luar cabang-cabang produksi itu (ditegaskan Bung Hatta) swasta masih memperoleh tempat.
Terlepas dari itu Widjojo Nitisastro pada tahun 1955 itu telah menekankan pentingnya negara memainkan peran aktif dalam pengendalian dan melaksanakan pembangunan ekonomi (alangkah baiknya apabila kaum Widjojonomics saat ini mengikuti pandangan Widjojo yang dikemukakannya ini, yang saya anggap bagian ini tepat sekali).
Sementara Mr. Wilopo menangkap ide kerakyatan dan demokrasi ekonomi (istilahnya: mengikuti jalan demokratis untuk memperbaiki nasib rakyat). Beliau mendukung agar negeri ini tidak berdasarkan konsep liberalisme ekonomi sebagai bagian dari pelaksanaan Asas-Asas Dasar (platforms) yang dianut oleh konstitusi kita (UUDS, pen.). Beliau mengatakan lebih lanjut bahwa “sejak semula sudah diakui bahwa ketentuan-ketentuan Pasal 33 UUD 1945 yang muncul dalam UUDS sebagai Pasal 38, memang sangat penting, karena dimaksudkan untuk mengganti asas ekonomi masa lalu (asas ekonomi kolonial, pen.) dengan suatu asas baru (asas ekonomi nasional, yaitu asas kekeluargaan, pen.).
Dalam berbagai artikel saya telah menindaklanjuti pemikiran Mr. Wilopo ini dengan mengemukakan bahwa Ayat II Aturan Peralihan UUD 1945 merupakan sumber hukum yang perlu kita perhatikan. Ayat II Aturan Peralihan UUD 1945 menetapkan: “segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini”. Artinya Pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan “asas kekeluargaan” berlaku bagi Indonesia sejak ditetapkan berlakunya UUD 1945, namun tetap masih berlaku pula peraturan perundangan kolonial, tak terkecuali KUHD (Wetboek van Koophandel) yang berasas perorangan (liberalisme). Pasal 33 UUD 1945 berlaku secara permanen, sedang KUHD sebagai akibat Aturan Peralihan UUD 1945 berlaku secara temporer (transisional). Mereka yang mau memahami pula kedudukan Pasal 33 UUD 1945 dan asas kekeluargaan hendaknya memahami kedudukan peraturan perundangan mengenai keekonomian dalam konteks Aturan Peralihan ini. Artinya, KUHD yang berasas perorangan yang harus di-Pasal 33-kan, bukan Pasal 33 yang harus di-KUHD-kan.
Tanggal 6 Maret 2011, pukul 13.46
Sistem Ekonomi Indonesia
Indonesia memiliki ekonomi berbasis-pasar di mana pemerintah memainkan peranan penting. Pemerintah memiliki lebih dari 164 BUMN dan menetapkan harga beberapa barang pokok, termasuk bahan bakar, beras, dan listrik. Setelah krisis finansial Asia yang dimulai pada pertengahan 1997, pemerintah menjaga banyak porsi dari aset sektor swasta melalui pengambilalihan pinjaman bank tak berjalan dan asset perusahaan melalui proses penstrukturan hutang.
Latar belakang
Selama lebih dari 30 tahun pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto, ekonomi Indonesia tumbuh dari GDP per kapita $70 menjadi lebih dari $1.000 pada 1996. Melalui kebijakan moneter dan keuangan yang ketat, inflasi ditahan sekitar 5%-10%, rupiah stabil dan dapat diterka, dan pemerintah menerapkan sistem anggaran berimbang. Banyak dari anggaran pembangunan dibiayai melalui bantuan asing.
Pada pertengahan 1980-an pemerintah mulai menghilangkan hambatan kepada aktivitas ekonomi. Langkah ini ditujukan utamanya pada sektor eksternal dan finansial dan dirancang untuk meningkatkan lapangan kerja dan pertumbuhan di bidang ekspor non-minyak. GDP nyata tahunan tumbuh rata-rata mendekati 7% dari 1987-1997, dan banyak analisis mengakui Indonesia sebagai ekonomi industri dan pasar utama yang berkembang.
Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dari 1987-1997 menutupi beberapa kelemahan struktural dalam ekonomi Indonesia. Sistem legal sangat lemah, dan tidak ada cara efektif untuk menjalankan kontrak, mengumpulkan hutang, atau menuntut atas kebangkrutan. Aktivitas bank sangat sederhana, dengan peminjaman berdasarkan-"collateral" menyebabkan perluasan dan pelanggaran peraturan, termasuk batas peminjaman. Hambatan non-tarif, penyewaan oleh perusahaan milik negara, subsidi domestik, hambatan ke perdagangan domestik, dan hambatan ekspor seluruhnya menciptakan gangguan ekonomi.
Krisis finansial Asia Tenggara yang melanda Indonesia pada akhir 1997 dengan cepat berubah menjadi sebuah krisis ekonomi dan politik. Respon pertama Indonesia terhadap masalah ini adalah menaikkan tingkat suku bunga domestik untuk mengendalikan naiknya inflasi dan melemahnya nilai tukar rupiah, dan memperketat kebijakan fiskalnya. Pada Oktober 1997, Indonesia dan International Monetary Fund (IMF) mencapai kesepakatan tentang program reformasi ekonomi yang diarahkan pada penstabilan ekonomi makro dan penghapusan beberapa kebijakan ekonomi yang dinilai merusak, antara lain Program Permobilan Nasional dan monopoli, yang melibatkan anggota keluarga Presiden Soeharto. Rupiah masih belum stabil dalam jangka waktu yang cukup lama, hingga pada akhirnya Presiden Suharto terpaksa mengundurkan diri pada Mei 1998. Di bulan Agustus 1998, Indonesia dan IMF menyetujui program pinjaman dana di bawah Presiden B.J Habibie. Presiden Gus Dur yang terpilih sebagai presiden pada Oktober 1999 kemudian memperpanjang program tersebut.
Kajian Pengeluaran Publik
Sejak krisis keuangan Asia di akhir tahun 1990-an, yang memiliki andil atas jatuhnya rezim Suharto pada bulan Mei 1998, keuangan publik Indonesia telah mengalami transformasi besar. Krisis keuangan tersebut menyebabkan kontraksi ekonomi yang sangat besar dan penurunan yang sejalan dalam pengeluaran publik. Tidak mengherankan utang dan subsidi meningkat secara drastis, sementara belanja pembangunan dikurangi secara tajam.
Saat ini, satu dekade kemudian, Indonesia telah keluar dari krisis dan berada dalam situasi dimana sekali lagi negara ini mempunyai sumber daya keuangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pembangunan. Perubahan ini terjadi karena kebijakan makroekonomi yang berhati-hati, dan yang paling penting defisit anggaran yang sangat rendah. Juga cara pemerintah membelanjakan dana telah mengalami transformasi melalui "perubahan besar" desentralisasi tahun 2001 yang menyebabkan lebih dari sepertiga dari keseluruhan anggaran belanja pemerintah beralih ke pemerintah daerah pada tahun 2006. Hal lain yang sama pentingnya, pada tahun 2005, harga minyak internasional yang terus meningkat menyebabkan subsidi minyak domestik Indonesia tidak bisa dikontrol, mengancam stabilitas makroekonomi yang telah susah payah dicapai. Walaupun terdapat risiko politik bahwa kenaikan harga minyak yang tinggi akan mendorong tingkat inflasi menjadi lebih besar, pemerintah mengambil keputusan yang berani untuk memotong subsidi minyak.
Keputusan tersebut memberikan US$10 miliar tambahan untuk pengeluaran bagi program pembangunan. Sementara itu, pada tahun 2006 tambahan US$5 miliar telah tersedia berkat kombinasi dari peningkatan pendapatan yang didorong oleh pertumbuhan ekonomi yang stabil secara keseluruhan dan penurunan pembayaran utang, sisa dari krisis ekonomi. Ini berarti pada tahun 2006 pemerintah mempunyai US$15 miliar ekstra untuk dibelanjakan pada program pembangunan. Negara ini belum mengalami 'ruang fiskal' yang demikian besar sejak peningkatan pendapatan yang dialami ketika terjadi lonjakan minyak pada pertengahan tahun 1970an. Akan tetapi, perbedaan yang utama adalah peningkatan pendapatan yang besar dari minyak tahun 1970-an semata-mata hanya merupakan keberuntungan keuangan yang tak terduga. Sebaliknya, ruang fiskal saat ini tercapai sebagai hasil langsung dari keputusan kebijakan pemerintah yang hati hati dan tepat.
Walaupun demikian, sementara Indonesia telah mendapatkan kemajuan yang luar biasa dalam menyediakan sumber keuangan dalam memenuhi kebutuhan pembangunan, dan situasi ini dipersiapkan untuk terus berlanjut dalam beberapa tahun mendatang, subsidi tetap merupakan beban besar pada anggaran pemerintah. Walaupun terdapat pengurangan subsidi pada tahun 2005, total subsidi masih sekitar US$ 10 miliar dari belanja pemerintah tahun 2006 atau sebesar 15 persen dari anggaran total.
Berkat keputusan pemerintahan Habibie (Mei 1998 - Agustus 2001) untuk mendesentralisasikan wewenang pada pemerintah daerah pada tahun 2001, bagian besar dari belanja pemerintah yang meningkat disalurkan melalui pemerintah daerah. Hasilnya pemerintah propinsi dan kabupaten di Indonesia sekarang membelanjakan 37 persen [8] dari total dana publik, yang mencerminkan tingkat desentralisasi fiskal yang bahkan lebih tinggi daripada rata-rata OECD.
Dengan tingkat desentralisasi di Indonesia saat ini dan ruang fiskal yang kini tersedia, pemerintah Indonesia mempunyai kesempatan unik untuk memperbaiki pelayanan publiknya yang terabaikan. Jika dikelola dengan hati-hati, hal tersebut memungkinkan daerah-daerah tertinggal di bagian timur Indonesia untuk mengejar daerah-daerah lain di Indonesia yang lebih maju dalam hal indikator sosial. Hal ini juga memungkinkan masyarakat Indonesia untuk fokus ke generasi berikutnya dalam melakukan perubahan, seperti meningkatkan kualitas layanan publik dan penyediaan infrastruktur seperti yang ditargetkan. Karena itu, alokasi dana publik yang tepat dan pengelolaan yang hati-hati dari dana tersebut pada saat mereka dialokasikan telah menjadi isu utama untuk belanja publik di Indonesia kedepannya.
Sebagai contoh, sementara anggaran pendidikan telah mencapai 17.2 persen dari total belanja publik- mendapatkan alokasi tertinggi dibandingkan sektor lain dan mengambil sekitar 3.9 persen dari PDB pada tahun 2006, dibandingkan dengan hanya 2.0 persen dari PDB pada tahun 2001 - sebaliknya total belanja kesehatan publik masih dibawah 1.0 persen dari PDB. Sementara itu, investasi infrastruktur publik masih belum sepenuhnya pulih dari titik terendah pasca krisis dan masih pada tingkat 3.4 persen dari PDB. Satu bidang lain yang menjadi perhatian saat ini adalah tingkat pengeluaran untuk administrasi yang luar biasa tinggi. Mencapai sebesar 15 persen pada tahun 2006, menunjukkan suatu penghamburan yang signifikan atas sumber daya publik.
Sumber : id.wikipedia.org
Prof. Dr. Sri-Edi Swasono : Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia (UI)
ekonomirakyat.org
SISTEM EKONOMI INDONESIA
LANDASAN SISTEM EKONOMI INDONESIA
Secara normatif landasan idiil sistem ekonomi Indonesia adalah Pancasila dan UUD 1945.
Dengan demikian maka sistem ekonomi Indonesia adalah sistem ekonomi yang berorientasi kepada Ketuhanan Yang Maha Esa (berlakunya etik dan moral agama, bukan materialisme); Kemanusiaan yang adil dan beradab (tidak mengenal pemerasan atau eksploitasi); Persatuan Indonesia (berlakunya kebersamaan, asas kekeluargaan, sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi dalam ekonomi); Kerakyatan (mengutamakan kehidupan ekonomi rakyuat dan hajat hidup orang banyak); serta Keadilan Sosial (persamaan/emansipasi, kemakmuran masyarakat yang utama – bukan kemakmuran orang-seorang).
Dari butir-butir di atas, keadilan menjadi sangat utama di dalam sistem ekonomi Indonesia. Keadilan merupakan titik-tolak, proses dan tujuan sekaligus.
Pasal 33 UUD 1945 adalah pasal utama bertumpunya sistem ekonomi Indonesia yang berdasar Pancasila, dengan kelengkapannya, yaitu Pasal-pasal 18, 23, 27 (ayat 2) dan 34.
Berdasarkan TAP MPRS XXIII/1966, ditetapkanlah butir-butir Demokrasi Ekonomi (kemudian menjadi ketentuan dalam GBHN 1973, 1978, 1983, 1988), yang meliputi penegasan berlakunya Pasal-Pasal 33, 34, 27 (ayat 2), 23 dan butir-butir yang berasal dari Pasal-Pasal UUDS tentang hak milik yuang berfungsi sosial dan kebebasan memilih jenis pekerjaan. Dalam GBHN 1993 butir-butir Demokrasi Ekonomi ditambah dengan unsur Pasal 18 UUD 1945. Dalam GBHN 1998 dan GBHN 1999, butir-butir Demokrasi Ekonomi tidak disebut lagi dan diperkirakan “dikembalikan” ke dalam Pasal-Pasal asli UUD 1945.
Landasan normatif-imperatif ini mengandung tuntunan etik dan moral luhur, yang menempatkan rakyat pada posisi mulianya, rakyat sebagai pemegang kedaulatan, rakyat sebagai ummat yang dimuliakan Tuhan, yang hidup dalam persaudaraan satu sama lain, saling tolong-menolong dan bergotong-royong.
WILOPO –VS- WIDJOJO
Pancasila hampir-hampir tidak terdengar lagi. Seolah-olah orang Indonesia merasa tidak perlu Pancasila lagi sebagai ideologi negara. Tanpa suatu ideologi negara yang solid, suatu bangsa tidak akan memiliki pegangan, akan terombang-ambing tanpa platform nasional yang akan memecah-belah persatuan. Pancasila merupakan “asas bersama” (bukan “asal tunggal”) bagi pluralisme Indonesia, suatu common denominator yang membentuk kebersamaan.
Sistem Eknomi Pancasila pun hampir-hampir hilang dalam pemikiran ekonomi Indonesia. Bahkan demikian pula Pasal 33 UUD 1945 sebagai landasan ideologinya akan dihilangkan. Apa yang sebenarnya terjadi?
Perdebatan mengenai Pasal 33 UUD 1945 (terutama Ayat 1-nya) sudah dimulai sejak awal. Yang paling pertama dan monumental adalah perdebatan pada tanggal 23 September 1955 antara Mr. Wilopo, seorang negarawan, dengan Widjojo Nitisastro, mahasiswa tingkat akhir FEUI.
Di dalam perdebatan itu kita bisa memperoleh kesan adanya bibit-bibit untuk ragu meminggirkan liberalisme sebagai peninggalan kolonial serta menolak koperasi sebagai wadah kekuatan rakyat dalam keekonomian nasional, betapapun hanya tersirat secara implisit, dengan memadukan tujuan untuk mencapai “peningkatan pendapatan perkapita” dan sekaligus “pembagian pendapatan yang merata”, sebagaimana (tersurat) dikemukakan oleh Widjojo Nitisastro.
Di awal penyajiannya dalam debat itu, Widjojo Nitisastro menyatakan adanya ketidaktegasan akan Ayat 1 Pasal 33 UUD 1945, kemudian mempertanyakannya, apakah ketidaktegasan ini disebabkan oleh “kontradiksi inheren” yang dikandungnya (karena masih mengakui adanya perusahaan swasta yang mengemban semangat liberalisme, di samping perusahaan negara dan koperasi), ataukah karena akibat tafsiran yang kurang tepat. Pertanyaan Widjojo Nitisastro semacam itu sebenarnya tidak perlu ada apabila beliau menyadari makna Ayat II Aturan Peralihan UUD 1945 dan mengkajinya secara mendalam.
Di samping itu, menurut pendapat saya, Widjojo Nitisastro alpa memperhatikan judul Bab XIV UUD 1945 di mana Pasal 33 (dan Pasal 34) bernaung di dalamnya, yaitu “Kesejahteraan Sosial”, sehingga beliau terdorong untuk lebih tertarik terhadap masalah bentuk-bentuk badan usaha (koperasi, perusahaan negara dan swasta) daripada terhadap masalah ideologi kerakyatan yang dikandung di dalam makna “Kesejahteraan Sosial” itu. Akibatnya beliau alpa pula bahwa yang paling utama berkaitan dengan kesejahteraan sosial adalah “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak” (ayat 2 Pasal 33 UUD), di luar cabang-cabang produksi itu (ditegaskan Bung Hatta) swasta masih memperoleh tempat.
Terlepas dari itu Widjojo Nitisastro pada tahun 1955 itu telah menekankan pentingnya negara memainkan peran aktif dalam pengendalian dan melaksanakan pembangunan ekonomi (alangkah baiknya apabila kaum Widjojonomics saat ini mengikuti pandangan Widjojo yang dikemukakannya ini, yang saya anggap bagian ini tepat sekali).
Sementara Mr. Wilopo menangkap ide kerakyatan dan demokrasi ekonomi (istilahnya: mengikuti jalan demokratis untuk memperbaiki nasib rakyat). Beliau mendukung agar negeri ini tidak berdasarkan konsep liberalisme ekonomi sebagai bagian dari pelaksanaan Asas-Asas Dasar (platforms) yang dianut oleh konstitusi kita (UUDS, pen.). Beliau mengatakan lebih lanjut bahwa “sejak semula sudah diakui bahwa ketentuan-ketentuan Pasal 33 UUD 1945 yang muncul dalam UUDS sebagai Pasal 38, memang sangat penting, karena dimaksudkan untuk mengganti asas ekonomi masa lalu (asas ekonomi kolonial, pen.) dengan suatu asas baru (asas ekonomi nasional, yaitu asas kekeluargaan, pen.).
Dalam berbagai artikel saya telah menindaklanjuti pemikiran Mr. Wilopo ini dengan mengemukakan bahwa Ayat II Aturan Peralihan UUD 1945 merupakan sumber hukum yang perlu kita perhatikan. Ayat II Aturan Peralihan UUD 1945 menetapkan: “segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini”. Artinya Pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan “asas kekeluargaan” berlaku bagi Indonesia sejak ditetapkan berlakunya UUD 1945, namun tetap masih berlaku pula peraturan perundangan kolonial, tak terkecuali KUHD (Wetboek van Koophandel) yang berasas perorangan (liberalisme). Pasal 33 UUD 1945 berlaku secara permanen, sedang KUHD sebagai akibat Aturan Peralihan UUD 1945 berlaku secara temporer (transisional). Mereka yang mau memahami pula kedudukan Pasal 33 UUD 1945 dan asas kekeluargaan hendaknya memahami kedudukan peraturan perundangan mengenai keekonomian dalam konteks Aturan Peralihan ini. Artinya, KUHD yang berasas perorangan yang harus di-Pasal 33-kan, bukan Pasal 33 yang harus di-KUHD-kan.
Tanggal 6 Maret 2011, pukul 13.46
Sistem Ekonomi Indonesia
Indonesia memiliki ekonomi berbasis-pasar di mana pemerintah memainkan peranan penting. Pemerintah memiliki lebih dari 164 BUMN dan menetapkan harga beberapa barang pokok, termasuk bahan bakar, beras, dan listrik. Setelah krisis finansial Asia yang dimulai pada pertengahan 1997, pemerintah menjaga banyak porsi dari aset sektor swasta melalui pengambilalihan pinjaman bank tak berjalan dan asset perusahaan melalui proses penstrukturan hutang.
Latar belakang
Selama lebih dari 30 tahun pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto, ekonomi Indonesia tumbuh dari GDP per kapita $70 menjadi lebih dari $1.000 pada 1996. Melalui kebijakan moneter dan keuangan yang ketat, inflasi ditahan sekitar 5%-10%, rupiah stabil dan dapat diterka, dan pemerintah menerapkan sistem anggaran berimbang. Banyak dari anggaran pembangunan dibiayai melalui bantuan asing.
Pada pertengahan 1980-an pemerintah mulai menghilangkan hambatan kepada aktivitas ekonomi. Langkah ini ditujukan utamanya pada sektor eksternal dan finansial dan dirancang untuk meningkatkan lapangan kerja dan pertumbuhan di bidang ekspor non-minyak. GDP nyata tahunan tumbuh rata-rata mendekati 7% dari 1987-1997, dan banyak analisis mengakui Indonesia sebagai ekonomi industri dan pasar utama yang berkembang.
Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dari 1987-1997 menutupi beberapa kelemahan struktural dalam ekonomi Indonesia. Sistem legal sangat lemah, dan tidak ada cara efektif untuk menjalankan kontrak, mengumpulkan hutang, atau menuntut atas kebangkrutan. Aktivitas bank sangat sederhana, dengan peminjaman berdasarkan-"collateral" menyebabkan perluasan dan pelanggaran peraturan, termasuk batas peminjaman. Hambatan non-tarif, penyewaan oleh perusahaan milik negara, subsidi domestik, hambatan ke perdagangan domestik, dan hambatan ekspor seluruhnya menciptakan gangguan ekonomi.
Krisis finansial Asia Tenggara yang melanda Indonesia pada akhir 1997 dengan cepat berubah menjadi sebuah krisis ekonomi dan politik. Respon pertama Indonesia terhadap masalah ini adalah menaikkan tingkat suku bunga domestik untuk mengendalikan naiknya inflasi dan melemahnya nilai tukar rupiah, dan memperketat kebijakan fiskalnya. Pada Oktober 1997, Indonesia dan International Monetary Fund (IMF) mencapai kesepakatan tentang program reformasi ekonomi yang diarahkan pada penstabilan ekonomi makro dan penghapusan beberapa kebijakan ekonomi yang dinilai merusak, antara lain Program Permobilan Nasional dan monopoli, yang melibatkan anggota keluarga Presiden Soeharto. Rupiah masih belum stabil dalam jangka waktu yang cukup lama, hingga pada akhirnya Presiden Suharto terpaksa mengundurkan diri pada Mei 1998. Di bulan Agustus 1998, Indonesia dan IMF menyetujui program pinjaman dana di bawah Presiden B.J Habibie. Presiden Gus Dur yang terpilih sebagai presiden pada Oktober 1999 kemudian memperpanjang program tersebut.
Kajian Pengeluaran Publik
Sejak krisis keuangan Asia di akhir tahun 1990-an, yang memiliki andil atas jatuhnya rezim Suharto pada bulan Mei 1998, keuangan publik Indonesia telah mengalami transformasi besar. Krisis keuangan tersebut menyebabkan kontraksi ekonomi yang sangat besar dan penurunan yang sejalan dalam pengeluaran publik. Tidak mengherankan utang dan subsidi meningkat secara drastis, sementara belanja pembangunan dikurangi secara tajam.
Saat ini, satu dekade kemudian, Indonesia telah keluar dari krisis dan berada dalam situasi dimana sekali lagi negara ini mempunyai sumber daya keuangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pembangunan. Perubahan ini terjadi karena kebijakan makroekonomi yang berhati-hati, dan yang paling penting defisit anggaran yang sangat rendah. Juga cara pemerintah membelanjakan dana telah mengalami transformasi melalui "perubahan besar" desentralisasi tahun 2001 yang menyebabkan lebih dari sepertiga dari keseluruhan anggaran belanja pemerintah beralih ke pemerintah daerah pada tahun 2006. Hal lain yang sama pentingnya, pada tahun 2005, harga minyak internasional yang terus meningkat menyebabkan subsidi minyak domestik Indonesia tidak bisa dikontrol, mengancam stabilitas makroekonomi yang telah susah payah dicapai. Walaupun terdapat risiko politik bahwa kenaikan harga minyak yang tinggi akan mendorong tingkat inflasi menjadi lebih besar, pemerintah mengambil keputusan yang berani untuk memotong subsidi minyak.
Keputusan tersebut memberikan US$10 miliar tambahan untuk pengeluaran bagi program pembangunan. Sementara itu, pada tahun 2006 tambahan US$5 miliar telah tersedia berkat kombinasi dari peningkatan pendapatan yang didorong oleh pertumbuhan ekonomi yang stabil secara keseluruhan dan penurunan pembayaran utang, sisa dari krisis ekonomi. Ini berarti pada tahun 2006 pemerintah mempunyai US$15 miliar ekstra untuk dibelanjakan pada program pembangunan. Negara ini belum mengalami 'ruang fiskal' yang demikian besar sejak peningkatan pendapatan yang dialami ketika terjadi lonjakan minyak pada pertengahan tahun 1970an. Akan tetapi, perbedaan yang utama adalah peningkatan pendapatan yang besar dari minyak tahun 1970-an semata-mata hanya merupakan keberuntungan keuangan yang tak terduga. Sebaliknya, ruang fiskal saat ini tercapai sebagai hasil langsung dari keputusan kebijakan pemerintah yang hati hati dan tepat.
Walaupun demikian, sementara Indonesia telah mendapatkan kemajuan yang luar biasa dalam menyediakan sumber keuangan dalam memenuhi kebutuhan pembangunan, dan situasi ini dipersiapkan untuk terus berlanjut dalam beberapa tahun mendatang, subsidi tetap merupakan beban besar pada anggaran pemerintah. Walaupun terdapat pengurangan subsidi pada tahun 2005, total subsidi masih sekitar US$ 10 miliar dari belanja pemerintah tahun 2006 atau sebesar 15 persen dari anggaran total.
Berkat keputusan pemerintahan Habibie (Mei 1998 - Agustus 2001) untuk mendesentralisasikan wewenang pada pemerintah daerah pada tahun 2001, bagian besar dari belanja pemerintah yang meningkat disalurkan melalui pemerintah daerah. Hasilnya pemerintah propinsi dan kabupaten di Indonesia sekarang membelanjakan 37 persen [8] dari total dana publik, yang mencerminkan tingkat desentralisasi fiskal yang bahkan lebih tinggi daripada rata-rata OECD.
Dengan tingkat desentralisasi di Indonesia saat ini dan ruang fiskal yang kini tersedia, pemerintah Indonesia mempunyai kesempatan unik untuk memperbaiki pelayanan publiknya yang terabaikan. Jika dikelola dengan hati-hati, hal tersebut memungkinkan daerah-daerah tertinggal di bagian timur Indonesia untuk mengejar daerah-daerah lain di Indonesia yang lebih maju dalam hal indikator sosial. Hal ini juga memungkinkan masyarakat Indonesia untuk fokus ke generasi berikutnya dalam melakukan perubahan, seperti meningkatkan kualitas layanan publik dan penyediaan infrastruktur seperti yang ditargetkan. Karena itu, alokasi dana publik yang tepat dan pengelolaan yang hati-hati dari dana tersebut pada saat mereka dialokasikan telah menjadi isu utama untuk belanja publik di Indonesia kedepannya.
Sebagai contoh, sementara anggaran pendidikan telah mencapai 17.2 persen dari total belanja publik- mendapatkan alokasi tertinggi dibandingkan sektor lain dan mengambil sekitar 3.9 persen dari PDB pada tahun 2006, dibandingkan dengan hanya 2.0 persen dari PDB pada tahun 2001 - sebaliknya total belanja kesehatan publik masih dibawah 1.0 persen dari PDB. Sementara itu, investasi infrastruktur publik masih belum sepenuhnya pulih dari titik terendah pasca krisis dan masih pada tingkat 3.4 persen dari PDB. Satu bidang lain yang menjadi perhatian saat ini adalah tingkat pengeluaran untuk administrasi yang luar biasa tinggi. Mencapai sebesar 15 persen pada tahun 2006, menunjukkan suatu penghamburan yang signifikan atas sumber daya publik.
Sumber : id.wikipedia.org
Prof. Dr. Sri-Edi Swasono : Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia (UI)
ekonomirakyat.org
TUGAS 1 ( SISTEM EKONOMI)
Tanggal 2 Maret 2011 pukul 20.19
1. Sistem Ekonomi Sosialis atau Komando
Sistem ekonomi komando sering juga disebut sebagai sistem ekonomi sosialis atau terpusat. Sistem ekonomi komando merupakan sistem ekonomi yang menghendaki pengaturan perekonomian dilakukan oleh pemerintah secara terpusat. Oleh karena itu, dalam sistem ekonomi ini peranan pemerintah dalam berbagai kegiatan ekonomi sangat dominan.
Tokoh yang memopulerkan sistem ekonomi komando adalah Karl Marx. Ia adalah seorang ahli filsafat berkebangsaan Jerman. Bukunya yang terkenal berjudul Das Capital. Dalam sistem ekonomi komando, semua kegiatan ekonomi diatur dan direncanakan oleh pemerintah. Pihak swasta tidak memiliki kewenangan dalam kegiatan perekonomian. Semua permasalahan perekonomian yang meliputi what, how, dan for whom semuanya dipecahkan melalui perencanaan pemerintah pusat sehingga semua alat produksi dikuasai oleh pemerintah. Sistem ekonomi komando banyak dianut oleh negara-negara di Eropa Timur dan Cina.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan ciri-ciri sistem perekonomian komando adalah sebagai berikut:
a) semua permasalahan ekonomi dipecahkan oleh pemerintah pusat;
b) kegiatan ekonomi yang meliputi produksi, distribusi, dan konsumsi diatur oleh negara;
c) semua alat produksi dikuasai oleh negara sehingga kepemilikan oleh individu atau pihak swasta tidak diakui.
2. Sistem Ekonomi Tradisional
Sistem ekonomi tradisional merupakan sistem ekonomi yang diterapkan oleh masyarakat zaman dahulu. Dalam sistem ekonomi ini, nilai-nilai sosial, kebudayaan, dan kebiasaan masyarakat setempat sangat berpengaruh kuat. Dalam bidang produksi, biasanya mereka hanya memproduksi untuk diri sendiri saja. Oleh karena itu, sistem ekonomi tradisional ini sangat sederhana sehingga tidak lagi bisa menjawab permasalahan ekonomi yang semakin berkembang.
Terdapat beberapa ciri sistem ekonomi tradisional sebagai berikut:
a) aturan yang dipakai adalah aturan tradisi, adat istiadat, dan kebiasaan;
b) kehidupan masyarakatnya sangat sederhana;
c) kehidupan gotong-royong dan kekeluargaan sangat dominan;
d) teknologi produksi yang digunakan masih sangat sederhana.
3. Sistem Ekonomi Pasar
Sistem ekonomi pasar sering juga disebut sistem ekonomi liberal. Sistem ekonomi pasar merupakan sistem ekonomi yang menghendaki pengolahan dan pemanfaatan sumber daya di dalam perekonomian yang dilakukan oleh individu dan terbebas dari campur tangan pemerintah. Jadi, sistem ekonomi pasar sangat bertolak belakang dengan sistem ekonomi komando.
Tokoh yang memopulerkan sistem ekonomi pasar adalah Adam Smith. Bukunya yang terkenal berjudul The Wealth of Nation. Adam Smith menyatakan bahwa “perekonomian akan berjalan dengan baik apabila pengaturannya diserahkan kepada mekanisme pasar atau mekanisme harga”. Teori ini kemudian dikenal dengan sebutan The Invisible Hands. Sistem ekonomi pasar banyak dianut oleh negara Eropa Barat dan Amerika Serikat.
Terdapat beberapa ciri sistem perekonomian pasar, di antaranya sebagai berikut:
a) setiap individu memiliki kebebasan untuk memiliki faktor-faktor produksi;
b) perekonomian diatur oleh mekanisme pasar;
c) peranan modal dalam perekonomian sangat menentukan bagi setiap individu untuk menguasai sumber-sumber ekonomi sehingga dapat menciptakan efisiensi;
d) peranan pemerintah dalam perekonomian sangat kecil;
e) hak milik atas alat-alat produksi dan distribusi merupakan hak milik perseorangan yang dilindungi sepenuhnya oleh negara.
4. Sistem Ekonomi Campuran
Sistem ekonomi campuran merupakan sistem ekonomi yang lahir sebagai alternatif dari sistem ekonomi komando dan sistem ekonomi pasar. Sistem ekonomi campuran ini mengambil kelebihan dari sistem ekonomi komando dan sistem ekonomi pasar. Dalam sistem ekonomi campuran, persoalan organisasi ekonomi sebagian dipecahkan melalui mekanisme pasar dan sebagian lagi dipecahkan melalui perencanaan pemerintah pusat.
Terdapat beberapa ciri sistem ekonomi campuran, di antaranya sebagai berikut:
a) hak milik individu atas faktor-faktor produksi diakui, tetapi ada pembetasan dari pemerintah;
b) kebebasan bagi individu untuk berusaha tetap ada sehingga setiap individu memiliki hak untuk mengembangkan kreativitasnya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya;
c) kepentingan umum lebih diutamakan;
d) campur tangan pemerintah dalam perekonomian hanya menyangkut faktor-faktor yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Dalam kenyataan dewasa ini, dua kubu sistem ekonomi, yaitu kapitalis, liberalis, dan sosialislah yang banyak berkembang. Bahkan yang menganut sistem campuran pun pada kenyataannya lebih condong ke salah satunya. Seiring dengan globalisasi dunia yang semakin gencar, sistem kapitalis-liberalis cenderung lebih banyak dipraktikan.
Sumber :
Firmansyah, Herlan dan Ramdani, Dani, 2009, Ilmu Pengetahuan Sosial 2 : untuk Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah Kelas VIII /Semester 1 dan 2, Jakarta : Pusat perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, h. 195 – 197.
gurumuda.com
1. Sistem Ekonomi Sosialis atau Komando
Sistem ekonomi komando sering juga disebut sebagai sistem ekonomi sosialis atau terpusat. Sistem ekonomi komando merupakan sistem ekonomi yang menghendaki pengaturan perekonomian dilakukan oleh pemerintah secara terpusat. Oleh karena itu, dalam sistem ekonomi ini peranan pemerintah dalam berbagai kegiatan ekonomi sangat dominan.
Tokoh yang memopulerkan sistem ekonomi komando adalah Karl Marx. Ia adalah seorang ahli filsafat berkebangsaan Jerman. Bukunya yang terkenal berjudul Das Capital. Dalam sistem ekonomi komando, semua kegiatan ekonomi diatur dan direncanakan oleh pemerintah. Pihak swasta tidak memiliki kewenangan dalam kegiatan perekonomian. Semua permasalahan perekonomian yang meliputi what, how, dan for whom semuanya dipecahkan melalui perencanaan pemerintah pusat sehingga semua alat produksi dikuasai oleh pemerintah. Sistem ekonomi komando banyak dianut oleh negara-negara di Eropa Timur dan Cina.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan ciri-ciri sistem perekonomian komando adalah sebagai berikut:
a) semua permasalahan ekonomi dipecahkan oleh pemerintah pusat;
b) kegiatan ekonomi yang meliputi produksi, distribusi, dan konsumsi diatur oleh negara;
c) semua alat produksi dikuasai oleh negara sehingga kepemilikan oleh individu atau pihak swasta tidak diakui.
2. Sistem Ekonomi Tradisional
Sistem ekonomi tradisional merupakan sistem ekonomi yang diterapkan oleh masyarakat zaman dahulu. Dalam sistem ekonomi ini, nilai-nilai sosial, kebudayaan, dan kebiasaan masyarakat setempat sangat berpengaruh kuat. Dalam bidang produksi, biasanya mereka hanya memproduksi untuk diri sendiri saja. Oleh karena itu, sistem ekonomi tradisional ini sangat sederhana sehingga tidak lagi bisa menjawab permasalahan ekonomi yang semakin berkembang.
Terdapat beberapa ciri sistem ekonomi tradisional sebagai berikut:
a) aturan yang dipakai adalah aturan tradisi, adat istiadat, dan kebiasaan;
b) kehidupan masyarakatnya sangat sederhana;
c) kehidupan gotong-royong dan kekeluargaan sangat dominan;
d) teknologi produksi yang digunakan masih sangat sederhana.
3. Sistem Ekonomi Pasar
Sistem ekonomi pasar sering juga disebut sistem ekonomi liberal. Sistem ekonomi pasar merupakan sistem ekonomi yang menghendaki pengolahan dan pemanfaatan sumber daya di dalam perekonomian yang dilakukan oleh individu dan terbebas dari campur tangan pemerintah. Jadi, sistem ekonomi pasar sangat bertolak belakang dengan sistem ekonomi komando.
Tokoh yang memopulerkan sistem ekonomi pasar adalah Adam Smith. Bukunya yang terkenal berjudul The Wealth of Nation. Adam Smith menyatakan bahwa “perekonomian akan berjalan dengan baik apabila pengaturannya diserahkan kepada mekanisme pasar atau mekanisme harga”. Teori ini kemudian dikenal dengan sebutan The Invisible Hands. Sistem ekonomi pasar banyak dianut oleh negara Eropa Barat dan Amerika Serikat.
Terdapat beberapa ciri sistem perekonomian pasar, di antaranya sebagai berikut:
a) setiap individu memiliki kebebasan untuk memiliki faktor-faktor produksi;
b) perekonomian diatur oleh mekanisme pasar;
c) peranan modal dalam perekonomian sangat menentukan bagi setiap individu untuk menguasai sumber-sumber ekonomi sehingga dapat menciptakan efisiensi;
d) peranan pemerintah dalam perekonomian sangat kecil;
e) hak milik atas alat-alat produksi dan distribusi merupakan hak milik perseorangan yang dilindungi sepenuhnya oleh negara.
4. Sistem Ekonomi Campuran
Sistem ekonomi campuran merupakan sistem ekonomi yang lahir sebagai alternatif dari sistem ekonomi komando dan sistem ekonomi pasar. Sistem ekonomi campuran ini mengambil kelebihan dari sistem ekonomi komando dan sistem ekonomi pasar. Dalam sistem ekonomi campuran, persoalan organisasi ekonomi sebagian dipecahkan melalui mekanisme pasar dan sebagian lagi dipecahkan melalui perencanaan pemerintah pusat.
Terdapat beberapa ciri sistem ekonomi campuran, di antaranya sebagai berikut:
a) hak milik individu atas faktor-faktor produksi diakui, tetapi ada pembetasan dari pemerintah;
b) kebebasan bagi individu untuk berusaha tetap ada sehingga setiap individu memiliki hak untuk mengembangkan kreativitasnya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya;
c) kepentingan umum lebih diutamakan;
d) campur tangan pemerintah dalam perekonomian hanya menyangkut faktor-faktor yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Dalam kenyataan dewasa ini, dua kubu sistem ekonomi, yaitu kapitalis, liberalis, dan sosialislah yang banyak berkembang. Bahkan yang menganut sistem campuran pun pada kenyataannya lebih condong ke salah satunya. Seiring dengan globalisasi dunia yang semakin gencar, sistem kapitalis-liberalis cenderung lebih banyak dipraktikan.
Sumber :
Firmansyah, Herlan dan Ramdani, Dani, 2009, Ilmu Pengetahuan Sosial 2 : untuk Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah Kelas VIII /Semester 1 dan 2, Jakarta : Pusat perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, h. 195 – 197.
gurumuda.com
Langganan:
Postingan (Atom)